Sedang Membaca
Menekuni Kesederhanaan Bung Hatta
Penulis Kolom

Pengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Pekalongan

Menekuni Kesederhanaan Bung Hatta

Img 20210812 083644

Tepat pada tanggal 12 Agustus Mohammad Athar atau yang dikenal sebagai Mohammad Hatta lahir. Hatta lahir di Bukittinggi Sumatera Barat dan mewarisi darah keluarga ulama yang terpandang. Kakek dia Syekh Abdurrahman merupakan seorang ulama terkenal dari Batuhampar, Kabupaten Limapuluh.

Sedangkan ayah kandung Hatta Muhammad Djamil juga merupakan keturunan ulama namun wafat saat Hatta berusia 7 bulan. Setelah itu Siti Saleha, ibu Hatta yang berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi menikah lagi dengan seorang pedagang asal Palembang, Agus Haji Ning.

Meski Hatta kecil adalah anak yang serba berkecukupan, namun Hatta tetap tumbuh menjadi pribadi yang sederhana. Betapa berkecukupkan keluarga harta, dapat tergambarkan yakni pada saat Hatta bersekolah di Europeesche Lagere School (Setingkat Sekolah Dasar) Hatta mendapat fasilitas istimewa diantar jemput dengan kereta kuda. Pada masa tersebut  sedikit sekali atau bisa dikatakan sangat jarang keluarga di Padang yang memiliki kendaraan tersebut.

Kehidupan berkecukupan Hatta berubah setelah  Hatta merantau ke Batavia untuk belajar di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School pada tahun 1919. Meskipun dia tetap mendapat jatah bulanan untuk biaya sekolah, dia harus hidup hemat agar jatah bulanan tersebut dapat mencukupi kebutuhannya.

Lulus dari Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School pada 1921, Hatta bertolak ke Rotterdam Belanda untuk melanjutkan pendidikan sarjananya. Kembali, Hatta harus berpikir keras bagaimana agar bisa membayar biaya perkuliahan juga membiayai kehidupan sehari-harinya. Saat itu memang Hatta mendapatkan semacam study loan dari pemerintah Belanda –yang kelak Hatta lunasi ketika umur 60 tahun- namun tentu saja uang tersebut tidak mencukupi kebutuhan Hatta sehari-hari.

Baca juga:  Marwa Al-Sabouni: Perempuan Tangguh, Arsitek Suriah

Apalagi Hatta yang juga aktif berorganisasi, harus menyisihkan sebagian uangnya untuk iuran organisasi dan suatu waktu ikut membantu dalam membiayai kegiatan organisasi. Karena itu, untuk menyambung hidup Hatta rajin menulis artikel dan mengirimnya ke koran atau tabloid di Indonesia yang kemudian mendapatkan upah dari setiap tulisannya.

Masa Hatta ketika di Belanda sekitar satu dasawarsa dapat disebut sebagai masa perjuangan. Anak kost-an cum aktivis tentu saja duit Hatta cekak dan terbatas. Hatta dapat menahan keinginannya untuk membeli barang-barang yang masih bisa ditunda seperti setelan jas atau sepatu pantofel. Namun satu hal yang tidak dapat Hatta tolak adalah tentu saja, buku.

Entah betapa banyak buku dan betapa banyak uang yang Hatta keluarkan untuk membeli buku. Dari pada mengurusi ‘penampilan luar’ tampaknya Hatta lebih tertarik untuk menyelami pengetahuan melalui buku.

Hatta Pasca dari Belanda

Bagaimana kehidupan Hatta pasca kuliah di Belanda dan balik ke Indonesia? Setali tiga uang, kehidupan Hatta tetap kehidupan yang sederhana dan jauh dari kesan bergelimang harta. Meski telah menjadi aktivis yang cukup dikenal kala itu, Hatta tetap rajin menulis di media cetak dan mengumpulan setiap uang hasil menulisnya.

Bagian paling menarik untuk melihat hidup Hatta adalah ketika Hatta menjadi Wakil Presiden Indonesia. Sungguh meskipun telah menjadi orang nomor dua di Indonesia, tak kurang kesederhanaan Bung Hatta. Hal ini bisa dibuktikan tiga bulan setelah proklamasi Indonesia, Hatta menikahi Rahmi dengan mas kawin yang tak lazim saat itu apalagi mengingat status bung hatta sebagai Wakil Presiden.

Baca juga:  Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (1): Santri Tekun, Teladan Keilmuan

Pernikahan Hatta dan Rahmi di Megamendung (Sumber Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa Karya Deliar Noer)

Bukannya emas, uang atau tanah Hatta menikahi Rahmi dengan mas kawin sebuah buku yang berjudul Alam Pikiran Yunani. Cerita kesederhanaan ini berlanjut di masa pernikahan ketika Rahmi yang berkeinginan untuk membeli mesin jahit namun tak pernah kesampaian.

Sebenarnya Rahmi telah menyisihkan dari uang belanja pemberian Hatta dan sudah hampir terkumpul sesuai nominal mesin jahit tersebut. Namun adanya kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengurangi nillai rupiah saat itu, total uang yang telah dikumpulkan Rahmi menjadi turun drastis. Bagian menarik adalah Hatta merahasiakan kebijakan tersebut bahkan ke keluarganya sendiri.

Bagaimana kehidupan Hatta pasca mengundurkan diri dari posisi Wakil Presiden? Hatta tetap hidup sederhana, mengandalkan uang pensiuanan dari negera yang tidak seberapa. Untuk menyambung hidup keluarga, Hatta rajin mengirim artikel ke media cetak sambil memberikan ceramah. Bahkan terdapat cerita Hatta yang kesulitan untuk membayar tagihan listrik dan PAM yang kemudian dibantu oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin saat itu.

Jalan Hidup Hatta

Dari cerita singkat sebelumnya pertanyaannya adalah apakah Hatta tidak mampu hidup layak atau memang Hatta memilih untuk hidup dengan sederhana? Maka jawabannya adalah Hatta memilih untuk hidup sederhana namun dengan jerih payahnya sendiri, dengan kehormatan dan tidak berusaha memanfaatkan jabatan yang dia pegang.

Jika Hatta ingin hidup dengan mewah dan berkecukupan, tentu setelah lulus SMA Hatta akan memilih bekerja untuk menjadi juru tulis/juru ketik dengan penghasilan yang besar saat itu. Dari pada bekerja, Hatta lebih memilih untuk kuliah ke Belanda dan hidup yang sederhana.

Baca juga:  Ulama Banjar (38): H. Marali

Pada saat hatta diasingkan ke Boven Digul, Hatta berkesempatan untuk mendapatkan uang bulanan yang cukup besar dari Pemerintah Belanda saat itu (7.50 gulden) dengan syarat Hatta mau bekerja sama dengan mereka. Hatta menolak, Hatta memilih digaji dengan nominal kecil sekitar 2.50 gulden asal Hatta tetap bisa hidup bebas dan tidak terikat dengan Belanda.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Hatta juga mendapat tawaran untuk diangkat sebagai pegawai Jepang (semacam PNS-nya Jepang) dan Hatta ditawarkan posisi yang tinggi dan sekali lagi Hatta menolak. Hatta mengatakan saat itu, kalaupun dia akan menjadi pegawai pemerintah maka Hatta hanya akan mau menjadi pegawai negeri ketika Indonesia telah merdeka.

Membaca jalan hidup Hatta, maka kita akan menemukan jalan yang bersahaja, sederhana dan jauh dari kesan glamor. Kehidupan yang Hatta jalani adalah kehidupan yang dia tahu konsekuensinya baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarganya.

Hidup sederhana namun dengan kebahagiaan karena berusaha dengan jerih payahnya sendiri. Itulah jalan hidup Hatta, jalan yang hingga akhir hayatnya masih menyimpan brosur sepatu Bally yang dia hanya mampu impikan dan tidak sempat terbeli.

Tepat 12 Agustus ini Hatta telah berulang tahun yang ke 119. Sesungguhnya banyak warisan yang ditinggalkan Hatta, namun jika ada satu warisan yang paling penting untuk diteladani maka hal itu adalah jalan hidup kesederhanaan Hatta.

Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top