Sam'ani, Sam'ani and Zakiyudin, Afif (2022) Dispensasi Kawin: Antara Idealita dan Realita. Muntaha Noor Institute, Pemalang. ISBN 978-623-94512-9-5
Text
10 Download (29kB) |
Abstract
Munculnya ide dan gagasan dalam penulisan ini dilatabelakangi oleh perubahan usia minimal diperbolehkannya melangsungkan perkawinan sebagaimana perubahan atas UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang sebelumnya bagi laki-laki 19 tahun dan 16 tahun bagi perempuan kini dalam revisinya melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 batas minimal usia menikah bagi laki-laki ataupun perempuan sama yakni 19 tahun. Pertimbangan UU Nomor 16 tahun 2019 terkait kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin antara lain bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. Diharapkan, dengan perubahan usia tersebut akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin. Memasuki tahun ke-3 pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya tanggal 15 Oktober 2019. Permohonan dispensasi kawin yang masuk di Pengadilan mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam UU tersebut tepatnya Pasal 7 disebutkan bahwa: (1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun; (2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup; (3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan; (4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Peningkatan permohonan dispensasi kawin yang sangat tinggi tersebut tidak semata dipengaruhi oleh perubahan batas usia perkawinan tetapi sebagai tolok ukur bukan pada angka batas usia yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Tanpa perubahan usia pada Undang-Undang tersebut pun perkawinan usia dini di Indonesia tergolong sangat tinggi. Yang menjadi permasalahan adalah apakah pasca dikeluarkannya perubahan batas usia perkawinan memberikan pengaruh besar bagi Pencegahan Perkawinan Usia Dini? Bagaimana menafsirkan alasan sangat mendesak dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak? Bagaimana pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan dispensasi kawin? Buku ini hadir sebagai “Buku Referensi” yang menjawab segala permasalahan di atas. Dengan diawali pemahaman akan perkawinan dalam Islam kemudian makna kedewasaan dalam perkawinan serta kajian tentang membangun keluarga sakinah ma waddah wa rahmah buku diharapkan menjadi sebuah pedoman untuk mewujudkan cita-cita perkawinan atau rumah tangga yang ideal. Meski demikian, tidak selalu cita-cita itu terwujud sebagaimana yang diharapkan. Banyak pasangan yang melangsungkan perkawinan namun terbentur oleh aturan usia. Hingga kemudian mengajukan permohonan dispensasi kawin. Undang-undang Perkawinan memuat aturan dispensasi perkawinan yang berbeda dengan rumusan UU sebelumnya. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Artinya, seseorang boleh menikah diluar ketentuan itu jika dan hanya jika keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilhan lain (ultimum remedium). Keadaan “menghendaki” yang dimaksud diatas adalah adanya alasan mendesak atau suatu keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa untuk tetap dilangsungkannya pernikahan tersebut. Alasan-alasan tersebut harus benar-benar dibuktikan dan tidak sekedar klaim.
Item Type: | Book | ||||
---|---|---|---|---|---|
Editors: |
|
||||
Subjects: | 200 RELIGION (AGAMA) > 2X0 ISLAM UMUM > 2X4.3 Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum Pernikahan Menurut Islam, Munakahat 300 SOCIAL SCIENCE ( ILMU SOSIAL ) > 300 Sociology and Anthropology(Sosiologi dan Antropologi) > 306.85 Family/Keluarga 300 SOCIAL SCIENCE ( ILMU SOSIAL ) > 340 Law (Ilmu Hukum) > 346.01 Domestic Relations, Family Law, Marriage/Hukum Keluarga, Hukum Pernikahan |
||||
Divisions: | Fakultas Syariah > Jurusan Hukum Keluarga Islam | ||||
Depositing User: | Dr. H. Sam'ani Sam'ani | ||||
Date Deposited: | 27 Dec 2022 07:53 | ||||
Last Modified: | 08 May 2023 02:28 | ||||
URI: | https:///id/eprint/711 |
Actions (login required)
View Item |